Jakarta, CNBC Indonesia - Harga mayoritas obligasi pemerintah atau Surat Berharga Negara (SBN) ditutup menguat pada perdagangan Rabu (31/8/2022), di tengah isu kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) subsidi yang akan diterapkan pada 1 September besok.
Secara mayoritas, investor ramai memburu SBN, ditandai dengan turunnya imbal hasil (yield). Hanya SBN tenor 3 tahun yang cenderung dilepas oleh investor, ditandai dengan naiknya yield.
Melansir data dari Refinitiv, yield SBN tenor 3 tahun naik 4,4 basis poin (bp) ke posisi 6,234%. Sedangkan untuk yield SBN berjangka waktu 15 tahun cenderung stagnan di 7,122%.
Sementara untuk yield SBN berjatuh tempo 10 tahun yang merupakan SBN acuan (benchmark) negara berbalik turun 3,6 bp ke posisi 7,117%.
Yield berlawanan arah dari harga, sehingga turunnya yield menunjukkan harga obligasi yang sedang menguat, demikian juga sebaliknya. Satuan penghitungan basis poin setara dengan 1/100 dari 1%.
Di dalam negeri, isu kenaikan harga BBM jenis Pertalite menjadi perhatian utama. Pemerintah memastikan harga bensin subsidi jenis Pertalite dan Solar akan mengalami kenaikan.
Hal tersebut dikemukakan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto saat menjawab pertanyaan di forum RSIS Distinguished Public Lecture: Indonesia, Singapore, ASEAN and The New Landscape, seperti dikutip Selasa (30/8/2022).
"Jadi kami sekarang berencana untuk menyesuaikan harga [BBM]," kata Airlangga dalam bahasa Inggris yang diterjemahkan.
"Dan kami telah mengeluarkan, juga untuk mendukung kemampuan dan warga yang membutuhkan, jaminan sosial. Jadi kita merilis program untuk jaminan sosial dan ketika sebanyak 40% warga yang membutuhkan dukungan telah didukung, kami akan menyesuaikan harga dari minyak," jelasnya.
Informasi yang diterima oleh CNBC Indonesia, kenaikan harga BBM Pertalite dan Solar Subsidi ini akan diumumkan hari ini, dan harga baru kedua BBM tersebut akan berlaku pada 1 September 2022 besok. Namun, hingga sore ini, belum ada pengumuman dari pemerintah.
Di lain sisi, dari Amerika Serikat (AS), yield obligasi pemerintah (US Treasury) cenderung menguat, cenderung mengikuti data pekerjaan yang kuat.
Dilansir dari CNBC International, yield Treasury berjangka pendek yakni tenor 2 tahun naik 2,3 bp ke posisi 3,489% pada hari ini pukul 07:00 waktu setempat, dari sebelumnya pada perdagangan Selasa kemarin di 3,466%.
Sedangkan untuk yield Treasury tenor 10 tahun yang merupakan obligasi benchmark negara AS juga meningkat 3,7 bp menjadi 3,147% pada hari ini, dari sebelumnya pada perdagangan kemarin di 3,11%.
Data tenaga kerja AS yang dirilis kemarin menunjukkan ada hampir 1 juta lowongan pekerjaan lebih banyak dari yang diperkirakan pada Juli lalu.
Ini terjadi setelah Ketua bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed), Jerome Powell mengatakan bahwa bank sentral bersedia menyebabkan "kesakitan" pada ekonomi AS untuk menjinakkan inflasi.
The Fed masih akan agresif menaikkan suku bunga, menahannya di level tinggi dalam waktu yang lama, sehingga risiko resesi meningkat, dan menyebabkan laba korporasi berisiko tergerus.
Tidak hanya The Fed, bank sentral lainnya yang juga bermasalah dengan inflasi tinggi juga bisa melakukan hal yang sama, resesi dunia pun di depan mata.
Seperti bank sentral Eropa (European Central Bank/ECB), yang juga menunjukkan tanda-tanda akan agresif. Anggota dewan gubernur ECB, Madis Muller mengatakan ECB seharusnya mulai mendiskusikan kenaikan 75 basis poin (bp) di bulan September.
TIM RISET CNBC INDONESIA
Artikel Selanjutnya
Inversi Yield Treasury Masih Terjadi, Tapi Harga SBN Menguat
(chd/vap)
Detik-Detik Harga Pertalite Mau Naik, Harga SBN Menguat - CNBC Indonesia
Read More