Jakarta, CNBC Indonesia - Harga minyak mentah dunia bergejolak sepanjang pekan ini. Sentimen pemangkasan produksi dan ketakutan resesi adu kuat dalam menggerakkan harga 'emas hitam'.
Pada Jumat (9/9/2022) harga minyak jenis brent ditutup di US$ 92,84/barel. Naik 4,14% dibandingkan posisi penutupan sebelumnya. Dalam sepekan melemah tipis 0,19% secara point-to-point (ptp).sim
Sementara yang jenis light sweet atau West Texas Intermediate (WTI) harganya US$ 86,79/barel, menguat 3,89%. Dalam sepekan melemah tipis 0,09% ptp.
Organisasi Negara-negara Eksportir Minyak (OPEC) dan sejumlah negara produsen lain seperti Rusia yang tergabung dalam OPEC+ sepakat untuk mengurangi produksi. Memang tidak banyak, hanya 100.000 barel/hari atau 0,1% dari total permintaan global.
Namun pertemuan itu menghasilkan kesepakatan lain. OPEC+ sepakat untuk mengadakan pertemuan sewaktu-waktu untuk menyesuaikan tingkat produksi.
"Ini adalah pesan simbolik bahwa OPEC+ siap untuk melakukan apa saja," tegas Craig Erlam, Analis OANDA, seperti dikutip dari Reuters.
Selain itu, pelaku pasar juga berekspektasi permintaan minyak akan tinggi, terutama di Eropa. Ini tidak lepas dari krisis gas alam yang tengah menghantam Benua Biru.
Gazprom, perusahaan migas asal Rusia, menyatakan operasional jalur pipa gas NordStream 1 akan berhenti sementara untuk perbaikan. Pasokan gas alam ke Eropa pun berkurang, sehingga kebutuhan akan sumber energi alternatif meningkat. Selain batu bara, minyak juga menjadi pengganti bagi gas alam.
Akibatnya ada potensi ketimpangan antara permintaan dan pasokan yang membuat minyak akan langka di pasaran.
Namun, kekhawatiran terhadap resesi dunia balik menekan harga minyak. Pengetatan moneter yang agresif membuat prospek pertumbuhan ekonomi dunia penuh tanda tanya.
Bank sentral di berbagai negara menaikkan suku bunga untuk 'berperang' melawan inflasi. Bank sentral Amerika Serikat The Federal Reserve/The Fed, diperkirakan menaikkan suku bunga acuan 75 basis poin (bps) pada rapat bulan ini.
Saat ini, para pelaku pasar melihat suku bunga akan naik 75 basis poin (bp) pada pertemuan The Fed pada 21 September nanti. Berdasarkan perangkat CME FedWatch, peluang kenaikan suku bunga acuan AS sebesar 75 bp ke 3,0%-3,25% sebesar 91%.
Foto: FEDWatch
Ekspektasi Kenaikan Suku Bunga |
Sejalan dengan The Fed, Bank Sentral Eropa (ECB) pada Kamis, (8/9/2022), memutuskan untuk menaikkan suku bunga sebesar 75 basis poin. Hal ini dilakukan tatkala inflasi tinggi menghantam zona euro.
Kenaikan ini sendiri menempatkan suku bunga deposito acuan menjadi 0,75%. ECB sendiri menyebut suku bunga bisa saja kembali dinaikan untuk mengontrol inflasi.
ECB sendiri memang telah mempertahankan suku bunga di wilayah negatif sejak 2014 dalam upaya untuk memacu pengeluaran dan memerangi inflasi yang rendah.
Namun saat ini, situasi di Eropa berubah dengan inflasi yang mencapai di atas 9%. Hal ini terjadi sebagai dampak dari perang Rusia dan Ukraina yang mengganggu pasokan energi untuk wilayah Benua Biru.
Selain energi, kenaikan harga pun tercatat di beberapa sektor lainnya seperti makanan, pakaian, mobil, peralatan dan jasa rumah tangga.
Meski begitu, produk domestik bruto di seluruh zona euro meningkat sebesar 0,8% pada kuartal kedua 2022. Namun banyak analis mengatakan resesi zona euro tidak dapat dihindari dalam beberapa bulan mendatang karena daya beli konsumen diperas oleh tingginya harga-harga barang dan kebutuhan pokok.
TIM RISET CNBC INDONESIA
Artikel Selanjutnya
Lupakan 2022, Minyak Mentah Dunia Lebih Bergairah di 2023
(ras/ras)
Tarik Ulur Sentimen, Harga Minyak Berakhir di Zona Merah - CNBC Indonesia
Read More
No comments:
Post a Comment