Jakarta, CNBC Indonesia - Pemerintah resmi menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) subsidi yakni Pertalite dan Solar pada Sabtu (3/9/2022) siang. Dengan adanya kenaikan harga BBM, maka inflasi di RI berpotensi meninggi.
Menurut riset dari BRI Danareksa Sekuritas, inflasi diperkirakan bisa naik ke 6,73% secara tahunan (year-on-year/yoy) di Oktober 2022.
Kenaikan inflasi tersebut akan memicu kebijakan moneter yang lebih ketat dengan ekspektasi kenaikan suku bunga di kisaran 75-100 basis poin (bp) tahun ini.
Lebih lanjut, riset yang bertajuk pada asesmen risiko dari kenaikan harga BBM tersebut melihat bahwa kenaikan BBM subsidi akan berdampak langsung pada daya beli masyarakat.
Oleh sebab itu, pemerintah memutuskan untuk memitigasi risikonya dengan memberikan bantuan sosial senilai Rp 24 triliun.
Inflasi yang berpotensi meninggi dan makin ketatnya suku bunga acuan bank sentral dapat membuat pasar obligasi, terutama obligasi pemerintah menjadi kurang menarik, karena keuntungan riil (real return) dari imbal hasilnya (yield) lebih rendah dari tingkat inflasi yang ada.
Sementara itu dari porsi kepemilikan asing, Berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan per 2 September 2022, kepemilikan asing di SBN mencapai Rp 756,63 triliun atau sekitar 15,12% dari total SBN.
Angka ini turun dari posisi 31 Agustus 2022 yang mencapai Rp 759,51 triliun atau sekitar 15,24%.
Sementara itu, dari posisi akhir tahun lalu hingga 2 September 2022, investor asing mencatatkan outflow sebesar Rp 134,71 triliun. Adapun pada periode 29 Agustus hingga 1 September, asing mencatatkan outflow sebesar Rp 4,49 triliun.
Namun terlepas dari asing yang mencatatkan outflow di pasar SBN, di pasar saham, asing mencatatkan inflow dana asing cukup jumbo.
Sepanjang pekan lalu atau periode yang sama yakni dari 29 Agustus hingga 1 September, asing di pasar saham mencatatkan inflow sebesar Rp 1,88 triliun di pasar reguler.
Dengan outflow dari pasar SBN yang lebih besar dari inflow di pasar saham, secara neto, pasar keuangan domestik masih mencatatkan aliran modal keluar lebih dari Rp 2,5 triliun.
Di lain sisi, secara historis, saat ada kenaikan BBM, yield SBN, utamanya SBN tenor 10 tahun memang mengalami kenaikan signifikan. Tetapi, kenaikan tersebut masih belum separah saat Oktober 2008 silam, di mana yield SBN tenor 10 tahun sempat menyentuh kisaran 20%-21%.
Di tahun 2008, terjadi krisis keuangan global yang juga ditambah adanya mega korupsi Bank Century, sehingga secara historis, kenaikan yield paling tajam yang dialami oleh SBN tenor 10 tahun terjadi pada Oktober 2008 silam dan hingga kini belum pernah lagi seperti demikian.
Secara historis, pada Mei hingga September 2005, kenaikan yield SBN tenor 10 tahun berkisar 407 bp, dari sebelumnya di kisaran 11% menjadi 15%.
Namun di tahun 2008, tepatnya periode Mei hingga Oktober, kenaikan yield SBN tenor 10 tahun terbilang sangat tinggi yakni hingga sekitar 850 bp, dari sebelumnya di kisaran 12% menjadi 21%.
Kemudian di periode Mei hingga September 2013, yield SBN kembali mengalami kenaikan, yakni sekitar 298 bp menjadi sekitar 8%, dari sebelumnya di kisaran 5%.
Namun pada tahun 2014, atau saat kenaikan terakhir harga BBM, yield SBN tenor 10 tahun baru terpengaruh setahunnya yakni tahun 2015, di mana pada periode Februari 2015 hingga Oktober 2015, kenaikan yield sudah berkisar 233 bp.
Memang, jika dilihat dari historisnya, kenaikan BBM juga mempengaruhi pergerakan yield SBN. Tetapi yield SBN akan lebih berpengaruh jika ada krisis secara global dan ditambah adanya krisis yang menerpa Indonesia.
Yield SBN akan sangat terpengaruh jika kondisi politik, makroekonomi, maupun lainnya baik di global atau di dalam negeri cukup parah.
TIM RISET CNBC INDONESIA
[Gambas:Video CNBC]
Artikel Selanjutnya
AS Dihempas 'Tsunami' Inflasi, Ini Dampaknya Buat Ri
(chd/chd)
Harga BBM Naik, Asing Bawa Kabur Rp 4,5 T Dari Pasar SBN - CNBC Indonesia
Read More
No comments:
Post a Comment