Rechercher dans ce blog

Wednesday, October 27, 2021

Beli Sekarang, Tahun Depan PPN dan Harga-harga Naik! - Kompas.com - Kompas.com

BELI sekarang. Senin harga naik.”

Bahasa marketing di atas mungkin membekas kuat di benak konsumen Indonesia setelah dipopulerkan oleh salah satu pengembang properti nasional, beberapa waktu silam.

Yang baru, kampanye pemasaran seperti ini mungkin akan marak lagi selama masa jeda menuju perluasan objek dan kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) mulai triwulan kedua 2022. 

Seperti kita tahu, pemerintah dan DPR kembali merombak aturan perpajakan dengan mengesahkan Undang-Undang Harmonisasi Perpajakan (UU HPP).

Baca juga: Naskah Lengkap UU HPP, Penjelasan, dan Poin-poin Pentingnya

Perluasan objek dan kenaikan tarif

Di antara poin penting amandemen perpajakan kali ini adalah penambahan jenis barang dan jasa kena PPN serta dinaikkannya tarif PPN dari 10 persen menjadi 11 persen mulai April 2022 dan menjadi 12 persen paling lambat 1 Januari 2025.

Baca juga: Apa Itu PPN: Definisi, Tarif, Pemungut, dan Objek Pajaknya

Dapatkan informasi, inspirasi dan insight di email kamu.
Daftarkan email

Tarif PPN tersebut juga dapat diubah menjadi paling rendah 5 persen dan paling tinggi 15 persen.

Terkait kenaikan tarif, karena bahasa undang-undangnya menegaskan ”paling…” maka sah-sah saja jika pemerintah mempercepat kenaikan tarif PPN menjadi 12 persen atau bahkan 15 persen sebelum 2025. Bahkan, bukan tidak mungkin pada tahun depan tarif PPN naik dua kali. 

Walaupun ruang penurunan tarif PPN—menjadi paling rendah 5 persen—tetap terbuka, kemungkinannya kecil. 

Tak populis vs marketing campaign

Satu hal yang pasti adalah perluasan objek dan kenaikan tarif PPN bukan kebijakan populis yang diharapkan publik. Ini karena kedua hal tersebut hampir pasti bakal diikuti kenaikan harga barang dan jasa.

Terlebih lagi di tengah pandemi dan krisis seperti sekarang, kebijakan ini bisa jadi semacam disinsentif bagi masyarakat luas yang baru saja dihantam resesi. 

Namun, sebagian kalangan alih-alih mungkin punya perspektif berbeda, bukan meratapinya, terutama pelaku usaha. Mereka mungkin malah melihat ini sebagai momentum untuk marketing campaign sebelum benar-benar jadi terkena PPN atau kenaikan tarif.

Baca juga: Ada Bebas PPN hingga Ragam Promo KPR, Saat ini Jadi Momen Tepat Untuk Beli Rumah

Setidaknya masih ada waktu hingga akhir Maret 2022 bagi mereka untuk mendongkrak penjualan dengan mengobral barang dagangan. 

Fenomena ini sudah pasti bakal berpengaruh signifikan terhadap penyesuaian harga-harga produk, termasuk barang-barang kebutuhan primer masyarakat—sandang, pangan, dan papan, plus kendaraan. 

Dari perspektif pengusaha, pembelian pun bisa terjadi lonjakan pada akhir tahun ini hingga awal tahun depan. Tidak hanya penjualan.

Tidak hanya konsumen yang bisa ”terhasut” woro-woro ”PPN dan harga akan naik”. Pada saat yang sama, pelaku usaha atau produsen bisa saja berpikiran serupa dan memajukan waktu pengadaan bahan baku, barang modal, atau barang operasional.

Bagi pengusaha, ini setidaknya bermotif mengurangi beban biaya yang bakal melonjak mulai April 2022 ketika tarif PPN benar-benar sudah naik.

Tarif khusus

Dalam UU HPP juga terdapat penambahan klausul baru terkait pemungutan PPN oleh pengusaha kena pajak (PKP) sektor usaha tertentu, yaitu dapat diterapkannya tarif PPN final dengan besaran tertentu.

Meskipun tidak disebutkan secara eksplisit besaran tarif khususnya, Kementerian Keuangan memberikan contoh kisaran 1 persen, 2 persen, atau 3 persen dari peredaran usaha.

Baca juga: Asosiasi Ritel Minta Kenaikan Tarif PPN Ditunda, Ini Alasannya

Dapat dibaca, semua itu pada akhirnya akan tergantung kebutuhan APBN dan kebijaksanaan Menteri Keuangan untuk menetapkan besaran tarif khusus tersebut. 

Hanya saja, dengan rencana diberlakukannya dua skema tarif—normal dan final—maka akan berlaku multitarif PPN mulai tahun depan. Persoalannya kemudian adalah bagaimana dengan implementasi dan pengawasannya. 

Persoalan tarif atau sistem?

Dalam berbagai kesempatan, pemerintah mengakui C-Efficiency PPN Indonesia hanya 63,58 persen. Artinya, Indonesia baru bisa mengumpulkan 63,58 persen dari total PPN yang seharusnya bisa dipungut. 

Bila perluasan objek PPN diyakini akan menaikkan penerimaan pajak, lantas apakah menaikkan tarif PPN juga bakal meningkatkan efektivitas pemungutannya?

Coba kita lihat negara tetangga. Filipina, misalnya. Dengan tarif 12 persen, efektivitas pemungutan PPN di Filipina masih jauh di bawah Indonesia. 

Penyakitnya berarti bukan soal tarif yang terlalu rendah melainkan proses administrasi pemungutan dan pengawasan yang harus semakin disempurnakan. 

Baca juga: Simak, Ini Jenis Barang dan Jasa yang Bebas PPN

Dengan booming digital, kita semua tahu bahwa optimalisasi dan efektivitas kegiatan apa pun akan sangat tergantung kepada penguasaan informasi dan teknologi. 

Poin inilah yang seharusnya semakin mendapatkan perhatian serius pemerintah untuk perbaikan birokrasi.

Dalam hal ini, wujudnya adalah pengembangan sistem administrasi perpajakan secara elektronik yang mampu beradaptasi dengan perkembangan teknologi digital. 

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.

Adblock test (Why?)


Beli Sekarang, Tahun Depan PPN dan Harga-harga Naik! - Kompas.com - Kompas.com
Read More

No comments:

Post a Comment

Cek Harga Pangan Hari Ini, Cabai Merah Keriting Naik Jadi Rp 52.800 Perkilo - TribunJakarta.com

TRIBUNJAKARTA.COM, JAKARTA -  Cek harga pangan di Jakarta pada hari ini, Senin (9/1/2023). Beberapa komoditas, memiliki harga yang stabil p...